beritaterkini-indonesia.comKondisi Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Kabupaten Buleleng semakin mengkhawatirkan. Dari total 196 LPD yang tercatat, sebanyak 115 di antaranya berada dalam kategori kurang sehat, bahkan beberapa di antaranya telah berhenti beroperasi. Angka ini menunjukkan jumlah LPD bermasalah jauh lebih banyak dibandingkan yang tergolong sehat.
Temuan tersebut terungkap dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) tingkat kecamatan yang digelar di Kantor Camat Sawan pada Rabu (5/11). Kegiatan ini diinisiasi oleh Badan Riset dan Inovasi Daerah (Brida) Buleleng bekerja sama dengan tim dari Undiksha, yaitu I Wayan Budiarta dan A.A. Istri Dewi Adhi Utami, dalam rangka menyusun kajian optimalisasi tata kelola LPD di wilayah tersebut.
Berdasarkan data yang dipaparkan, hanya 81 LPD yang masih dinyatakan sehat, sedangkan sisanya masuk kategori cukup, kurang, dan tidak sehat. Sekretaris Brida Buleleng, I Ketut Wika, menjelaskan bahwa penurunan kinerja LPD disebabkan oleh berbagai faktor seperti keterbatasan sumber daya manusia, lemahnya manajemen, permasalahan hukum, dan kesalahan dalam pengelolaan usaha.
FGD juga menyoroti sejumlah persoalan klasik yang masih membelit LPD, antara lain tingginya kredit macet, lemahnya pengawasan internal, dan rendahnya kesadaran masyarakat dalam membayar pinjaman. Selain itu, banyak pengurus belum memiliki sertifikasi kompetensi, sementara kasus penyalahgunaan dana dan kredit fiktif masih terjadi, bahkan berujung ke ranah pidana.
Peserta FGD menilai sanksi adat kini tak lagi efektif karena masyarakat sudah tidak gentar terhadap hukuman sosial. Oleh karena itu, muncul gagasan untuk membentuk pararem atau aturan adat khusus guna memperkuat tata kelola serta memberi dasar hukum yang jelas terhadap pelanggaran di LPD. Hasil kajian ini nantinya akan menjadi rekomendasi strategis bagi Pemkab Buleleng untuk memperkuat keberlanjutan dan peran LPD sebagai penopang ekonomi desa adat di Bali Utara.
