Banjir Bali: Pentingnya Melihat Bencana Lewat Perspektif Geografi

BeritaTerkini.Info
0

Berita Terkini Indonesia -- Banjir bandang yang menerjang Bali baru-baru ini seharusnya menjadi momentum untuk mengubah cara pandang terhadap bencana. Peristiwa tersebut bukan hanya akibat curah hujan ekstrem, melainkan hasil dari salah kelola ruang yang terjadi dalam jangka panjang.

Melalui perspektif geografi, bencana dapat dipahami sebagai interaksi erat antara ruang, lingkungan, dan perilaku manusia. Faktor alam seperti topografi curam, sungai pendek dan deras, serta curah hujan tinggi memang membuat Bali rawan banjir bandang. Namun kerusakan ekologi akibat alih fungsi lahan dan lemahnya tata ruang membuat dampak banjir semakin parah.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan ada 2.145 daerah aliran sungai (DAS) di Indonesia yang membutuhkan pemulihan, 108 di antaranya berstatus kritis. Di Bali, khususnya Buleleng, 9 dari 12 Sub-Wilayah Pengelolaan DAS berada pada kondisi kritis. Situasi ini diperburuk dengan hilangnya ribuan hektare sawah di kawasan Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan) sepanjang 2018–2023. Padahal sawah dan sistem subak tidak hanya bernilai budaya, tetapi juga penting bagi ekosistem hidrologis Bali.

Alih fungsi lahan menjadi hotel, vila, dan kawasan pariwisata bahkan merambah sempadan sungai serta pantai, mengurangi ruang resapan dan menjadikan sungai sekadar saluran buangan yang mudah meluap. Tak heran, banjir bandang kali ini menelan 16 korban jiwa di Denpasar, Badung, Gianyar, dan Jembrana, serta merendam ribuan rumah dan infrastruktur.

Ironinya, Bali dikenal dunia dengan konsep Tri Hita Karana, yang menekankan harmoni manusia, alam, dan Sang Pencipta. Namun realitas pembangunan pariwisata justru menggerus prinsip tersebut.

Perspektif geografi menawarkan dua pelajaran penting: pertama, mitigasi banjir harus mengembalikan fungsi ruang sesuai daya dukung lingkungan, bukan sekadar membangun tanggul. Kedua, pembangunan Bali ke depan wajib menempatkan kelestarian lingkungan sebagai fondasi utama pariwisata.

Banjir bandang seharusnya menjadi alarm bahwa pembangunan yang mengabaikan geografi hanya akan merusak dasar pariwisata itu sendiri. Wisatawan datang untuk menikmati alam dan budaya yang lestari, bukan pulau yang rusak akibat bencana.

Kini saatnya benar-benar memakai “kacamata geografi” — melihat ruang sebagai ekosistem hidup, bukan sekadar lahan ekonomi. Pertanyaannya, beranikah Bali mengubah arah pembangunan sebelum bencana serupa kembali terulang?

Tags

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)